Yayasan Joseph Yeemye (JMY)
Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph (SJMJ) didirikan pada tanggal 29 Juli 1822 di Belanda. Misi utama adalah pendidikan. Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Art. 37, “Sebagai seorang anak pada zamannya, P. Mathias Wolff, Pendiri kita, menyadari pentingnya pendidikan dan pengajaran demi kesejahteraan masyarakat. Para suster pertama memberikan perhatian dalam bidang ini, dan sampai sekarang pendidikan tetap merupakan inti dari tradisi kita.” Nama yang digunakan, Paédagogié Chrétiénné, nama tersebut mencerminkan misi yang diemban Kongregasi. Perkembangan misi Paédagogié Chrétiénné, dalam proses perkembangannya, “menyimpan” banyak perjuangan/ pergolakan, tapi juga pertumbuhan. Perjuangan awal yang harus dihadapi dalam menjalankan misi ini adalah bagaimana membuat misi ini “sah” di hadapan pemerintah. Maka untuk urusan-urusan hukum dan sipil, Paédagogié Chrétiénné menggunakan nama Asosiasi van Werkhoven (1823) dan Yayasan Perhimpunan Perempuan dan Pengajaran (“Vereniging van Vrouwen tot het geven van onderwijs”,1842).
Pada tahun 1898, suster-suster Belanda, misionaris pertama tiba di Indonesia dan mulai dengan kegiatan-kegiatan misionernya. Rumah pertama dimulai di Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika para suster perdana tiba, mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di samping Gereja Katolik. Beberapa tahun kemudian, dibangun rumah, sebuah biara, milik/harta tak bergerak pertama dari “Vereniging van Vrouwen tot het geven van onderwijs” (Perserikatan kaum wanita untuk karya pendidikan yang berkedudukan di ‘s-Hertogenbosch, yang oleh Kongregasi JMJ dapat disebut milik di luar benua Eropa). Karya kerasulan di tanah misi Indonesia bertumbuh semakin berkembang pula objek-objek dan milik Societas di Manado, Makassar, Lembean dan Makale. Selama Belanda sendiri yang masih berkuasa, maka kepengurusan biara-biara, sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit tetap ditangani oleh Yayasan “Zedelijk Lichaam” di ‘s-Hertogenbosch.
Tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Walaupun beberapa kali pihak Belanda berusaha untuk menguasai Indonesia (disebut Hindia-Belanda), namun Indonesia tetap diakui kemerdekaannya oleh dunia luar. Resikonya kepengurusan Pendidikan, Kesehatan, Sosial Pastoral dan masalah kepemilikan aset suster-suster JMJ baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak harus dilepaskan dari kepengurusan dan kepemilikan Institut Belanda. Untuk itu lahirlah “Yayasan Joseph dari Suster-suster Kongregasi Jesus Maria Joseph” yang berkedudukan di Manado, yang didirikan pada tanggal 16 April 1953 dengan Akte Notaris nomor 13. Pada awal berdiri, adapun Badan Pengurus Yayasan:
Ketua | : Juliana Wagey (Moeder Annuncia, JMJ) |
Sekretaris | : Eveline Jacqueline Wakkers (Sr. Benigna, JMJ) |
Bendahara | : Alida Maria Engelmunda Moerel (Sr. Francois, JMJ) |
Anggota | : - Getruida Maria v.d. Laan (Moeder Antonino, JMJ) |
: - Josepha Waha (Sr.Josepha, JMJ) |
Dengan berdirinya Yayasan Joseph ini, dengan sendirinya aset-aset milik suster-suster JMJ di Indonesia tidak disita oleh pemerintah Indonesia. Sebelum perang dunia II, semua kegiatan dan harta milik Kongregasi JMJ di Indonesia ditangani oleh Institut Zedelijk Lichaam yang berkedudukan di s-Hertogenbosch, Belanda. Maka, dengan adanya Yayasan Joseph yang baru berdiri di Manado mendorong Pimpinan Zedelijk Lichaam di Belanda untuk mempercepat proses alih kelola aset-aset JMJ yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Ketua Vereniging van Vrouwen Tot Het Geven van Onderwijs, muder Daniella Maria Adriana Swagemakers akhirnya memberikan semua aset milik JMJ baik yang bergerak maupun tak bergerak sebagai “barang pinjaman” kepada Yayasan Joseph yang berkedudukan di Manado. Kontrak perjanjian pinjaman ini tertanggal 16 Januari 1954 di s-Hertogenbosch. Sekalipun “Kontrak Pinjaman” yang telah dikirim oleh Zedelijk Lichaam di Den Bosch dianggap sebagai suatu jalan keluar sementara yang memadai untuk menjamin semua harta dan milik, hal ini dianggap oleh para suster di Indonesia sebagai tidak mencukupi. Situasi waktu itu masih penuh pergolakan dan kerusuhan di antara umat. Situasi dalam negeri sama sekali belum stabil. Syukurlah bahwa pimpinan di Belanda dapat mengerti masa yang sulit ini. Yayasan Joseph, di Den Bosch diwakili oleh Sr. Marie de Monfort Janssen, JMJ (kemudian Muder Marie menjadi Pemimpin Umum Kongregasi), dengan surat kuasa dari M. Annuncia Wagey.
Pada tanggal 27 Desember 1957 kepada semua Instansi Pemerintah dikirim pemberitahuan resmi tentang Yayasan Joseph yang berbadan hukum. Suster-suster Belanda sebagai anggota Badan Pengurus Jajasan Joseph ini sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Milik Yayasan yang perlu dilindungi bukan hanya di Sulawesi Utara tetapi juga yang ada di Makassar (Ujung Pandang): Rajawali, Stella Maris, Malino, Makale. Maka pada tanggal yang sama 16 April 1953 – Akte No. 14, diberikan kuasa penuh kepada Kepala Biara Rajawali (tidak disebut nama) dan kepada Margaretha Kalesaran (Sr. Tarsisia, JMJ) untuk mengurus harta milik yang berada di Sulawesi Selatan. Sampai tahun 1958, Kongregasi JMJ di Indonesia masih tetap berstatus sebagai Regio. Melihat kiprah Kongregasi JMJ di Indonesia semakin kuat, Pimpinan Pusat mulai mempersiapkan suatu Provinsi; tidak lagi sebagai Regio. Persiapan menyambut perubahan dari Regio menjadi Provinsi memang sudah dilakukan sejak tahun 1949-1958. Sekitar sembilan tahun mulai dipersiapkan kader-kader baru: suster-suster pribumi dipercayakan menangani karya bidang pendidikan, kesehatan dan sosial pastoral. Namun tidak serta merta terjadi alih-kelola kepemimpinan Kongregasi JMJ. Tanggal 23 Januari 1958 – Akte No,19, Regina Palit (Sr. Benigna, JMJ) di Stella Maris diangkat sebagai yang berkuasa penuh dari Yayasan menggantikan Kepala Biara Rajawali, dan pada tanggal 25 Februari 1961 – Akte No.21, pergantian wakil-wakil Yayasan di Makassar sehubungan dengan perluasan karya, maka diberikan surat kuasa kepada:
- Kepala Biara Stella Maris di Makassar,
- Kepala Biara Rajawali di Makassar,
- Sr. Margaretha Kalesaran (Sr. Tarsisia).
Pada tanggal 3 Februari 1961 – Akte No. 5 dikirim suatu surat kuasa notariil kepada Sr. Jeanne Marie van Zutphen dengan wewenang untuk atas nama “Zedelijk Lichaam Vereniging van Vrouwen tot het geven van onderwijs” menyerahkan semua harta milik dari Zedelijk Lichaam yang berkedudukan di ‘s-Hertogenbosch secara mutlak dan cuma-cuma kepada Ketua Yayasan Joseph di Manado. Ini sungguh penyelesaian yang tuntas! Suatu pemberian agung dari Kongregasi di Belanda yang diterima dengan ucapan syukur yang luar biasa. Sehubungan dengan perubahan ini, maka juga Anggaran Dasar Yayasan Joseph diubah. Perubahan-perubahan itu ditetapkan pada tanggal 25 Februari 1961 – Akte No. 22. Akte penghibahan sebenarnya tertanggal 20 Maret 1961 – Akte No. 19. Sr. Jeanne Marie van Zutphen (waktu itu pemimpin Provinsi Indonesia) memberikan dengan kuasa penuh dari Badan Pengurus Zedelijk Lichaam Vereniging van Vrouwen tot het geven van onderwijs, Sr. Maria M. Adriana Swagemakers, segala milik dan kepunyaan/kekayaan dengan cuma-cuma dan secara mutlak kepada Sr. Juliana Wagey dan Sr. Philomena Nelwan sebagai ketua Panitera dari Yayasan Joseph yang berkedudukan di Manado. Hal ini membawa sukacita yang besar bagi Misi. Dengan perpindahan kepala-kepala biara dan para suster anggota Badan Pengurus dari Yayasan, maka perlu diadakan pengangkatan baru. Badan Pengurus yang baru adalah sebagai berikut:
Ketua | : Juliana Wagey (M: Sr. Juliana Wagey |
Sekretaris | : Sr. Philomena Nelwan |
Bendahara | : Sr. Catharina Leentje Senduk |
Anggota | : Sr. Jeanne Marie van Zutphen |
: Sr. Emerentiana Korompis |
Selain itu ada juga beberapa perubahan pada Anggaran Dasar. Semuanya itu terjadi pada tanggal 20 Oktober 1961 – Akte No. 37. Tahun 1962 merupakan tahun bersejarah bagi seluruh Gereja dan bagi seluruh Institusi Religius, termasuk Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph dengan adanya Konsili Vatikan II. “Pada tanggal 16 Desember 1962 adalah momentum sejarah Kongregasi JMJ di Indonesia, Pimpinan Pusat menetapkan Kongregasi JMJ di Indonesia menjadi satu Propinsi yang mandiri. Pimpinan pusat juga mengangkat seorang suster sebagai pemimpin propinsi (Provinsial). Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph di Indonesia dari Regio menjadi Provinsi.” Sampai dengan tahun 1962, pertumbuhan Kongregasi baik komunitas-komunitas maupun unit-unit karya kerasulan telah berkembang dan tersebar di beberapa benua. Kongregasi SJMJ di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan dalam pelayanannya. Semangat yang ditanamkan oleh Pendiri, Pater Mathias Wolff, SJ tidak pernah lekang di tengah-tengah perkembangan dunia pada umumnya, dan secara khusus di Indonesia, (Konst. Art. 1, “Sebagai anggota Kongregasi Suster-suster Jesus Maria Joseph, kita membentuk lembaga religius apostolik internasional dengan status kepausan. Digerakkan oleh Roh dan hidup dalam komunitas, kita mau mengikuti jejak Pendiri kita, Pater Mathias Wolff, SJ. Ia menugaskan kita untuk mengikuti Yesus dan tanggap terhadap kebutuhan Gereja dan dunia.” Kongregasi Suster-suster JMJ di Indonesia menjadi Provinsi, Sr. Juliana Wagey, yang adalah Ketua Yayasan akan bertugas di Sulawesi Selatan selama sekurang-kurangnya 3 tahun, maka pada tanggal 29 Mei 1963 – Akte No. 69 diberikan surat kuasa kepada Sr. Philomena Nelwan untuk mewakili dan memimpin Yayasan Joseph di daerah Minahasa. Kemudian menyusul lagi beberapa perubahan pada Anggaran Dasar Yayasan pada tanggal 19 Agustus 1964 – Akte No. 45. Sampai pada waktu itu belum ada kejelasan sejauh mana hak Yayasan atas tanah-tanahnya. Sudah bertahun-tahun lamanya dibenahi oleh Hukum Agraria, namun suatu kepastian/pegangan di bidang ini belum ada. Pada tanggal 1 Maret 1967, pimpinan Yayasan Joseph menerima sepucuk surat dari Kantor Wali Gereja di Jakarta, yakni surat salinan dari Keputusan Departemen Agraria, di mana dinyatakan bahwa gereja-gereja, pastoran-pastoran, biara-biara, seminari-seminari, novisiat-novisiat, rumah-rumah retret boleh mempunai “hak milik” atas tanah di mana gedung-gedung tersebut dibangun. Kantor Wali Gereja melampirkan sebuah penjelasan ketat bagaimana prosedur itu harus berlangsung agar dapat memperoleh hasil. Karena Keputusan Departemen itu berlaku hanya untuk 6 bulan saja, yakni dari tanggal 1 Maret sampai dengan tanggal 12 Agustus 1967, maka tindakan secepatnya segera dilakukan. Baik di Sulawesi Utara maupun di Sulawesi Selatan, pada bulan-bulan ini, para pengurus sibuk sekali mengurusi meetbrieven (surat ukur), cap dan tanda tangan. Di Sulawesi utara, hasilnya luar biasa; sebelum tanggal 12 Agustus 1967 sudah diperoleh “Hak Milik” atas tanah biara. Karena situasi di Sulawesi Selatan kurang memadai, maka urusan seluruhnya belum dapat diselesaikan, namu mereka berusaha terus’. Sehubungan dengan “Hak Milik” yang telah diperoleh, maka nama Yayasan dibaharui sesuai dengan situasi waktu itu dengan Akte Notariil tertanggal 25 November 1967 – Akte No. 9. Nama Yayasan menjadi “Yayasan Joseph dari Kongregasi Sosietas Jesus, Maria, Joseph.
Pada tanggal 28 Desember 1967 – Akte No. 13. Nama yang lengkap Yayasan adalah “Yayasan Joseph dari Kongregasi Sosietas Jesus, Maria, Joseph yang berkedudukan di Manado. Selanjutnya terdapat beberapa Akte Perobahan, No–5, tanggal 3 Oktober 1973, pergantian Badan Pengurus; Akte Perobahan No. 43, tanggal 25 Juni 1983, pergantian Badan Pengurus dan Perobahan Anggaran Dasar bahwa “Jajasan Joseph berkedudukan di Ujung Pandang, dapat mendirikan cabang-cabang dan unit-unit di tempat-tempat lain yang dipandang perlu oleh Badan Pengurus Jajasan.” Jajasan kini mendirikan/mempunyai cabang-cabang dan unit-unit; Akte Perobahan No. 130, tanggal 24 Agustus 1985, Akte Perobahan No. 56, tanggal 12 Agustus 1987, tentang perobahan Anggaran Dasar: Asas dan Dasar, Maksud dan tujuan; Akte Perobahan No. 29, tanggal 4 Mei 1988, pergantian Badan Pengurus dan Perobahan Anggaran Dasar.
Peristiwa penting dalam perkembangan Yayasan Joseph adalah pada tahun 2000, pemerintah mengeluarkan rancangan undang-undang Yayasan. Menanggapi rancangan undang-undang ini, KWI mengajak para Tarekat/Kongregasi yang mendirikan Yayasan untuk membahas hal ini di Villa Renata – Cimacan. Pokok bahasan adalah maksud dan tujuan dikeluarkan undang-undang Yayasan sebagai “Badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”. (UU Yay No 16 Tahun 2001 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 1).
Yayasan Joseph, tahun 2001, menindaklanjuti pertemuan Cimacan dengan mengadakan pertemuan di Malino yang dihadiri oleh DPP, Pengurus Yayasan Joseph, Suster pejabat struktural, fungsional, Konsultan Hukum, sebagai respon terhadap RUU. Para peserta mendiskusikan apakah kita tetap Yayasan atau PT dan apa untung rugi Yayasan atau PT? Peserta memilih tetap sebagai Yayasan yang dimekarkan menjadi Yayasan Pendidikan dan Yayasan Kesehatan. Latar belakangnya adalah: Undang-Undang Yayasan No. 16 tahun 2001, Perbedaan Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan, Efisiensi pendampingan unit-unit karya. Untuk itu, dibuat Akta Pendirian Yayasan Ratna Miriam No. 02, tanggal 4 Februari 2002. Tujuan dan maksud pemekaran Yayasan adalah “apabila salah satu Yayasan kolabs, maka Yayasan yang satu dapat ‘menampung’ seluruh kegiatan Yayasan yang bubar, (UU Yayasan No 16/2001, Pasal 68; Perubahan UUY No 28/2004).
Perubahan yang penting juga terjadi pada tahun 2006, Akta No 13, tanggal 8 Mei 2006, yaitu perubahan Nama dan Tempat Kedudukan Yayasan Joseph:
Nama: Yayasan Joseph menjadi Yayasan Joseph Yeemye, berkedudukan dan berkantor Pusat di Jalan Muchtar Lutfi Nomor 7, Kelurahan Maloku, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar-90112, Propinsi Sulawesi Selatan. Nama Yayasan Joseph ini berubah karena sudah ada yang menggunakan nama yang sama di kota lain. Atas permintaan Direktur Jenderal Adminstrasi Hukum Umum-nama perlu diubah, dan disetujui perubahan nama Yayasan Joseph menjadi Yayasan Joseph Yeemye, tetap diakui sebagai Badan Hukum berdasarkan Undang-undang Yayasan Pasal 71, ayat 1 huruf a/b.
Tahun 2018 – 2022: Proses kemandirian Yayasan untuk masing-masing Provinsi (Jakarta, Makassar dan Manado)Pada bulan September 2018, diadakan rapat perdana Dewan Pimpinan Kongregasi, Dewan Pimpinan Provinsi (Jakarta, Makassar dan Manado), Pengurus 2 Yayasan (Yayasan Joseph Yeemye/YJY dan Yayasan ratna Miriam/YRM) dan Direksi 2 PT (PT. Ratna Timur Tumarendem/RTT dan PT. Citra Ratna Nirmala/CRN), dalam rapat tersebut secara resmi diumumkan bahwa setiap Provinsi wajib mempunyai Yayasannya masing-masing (Konst. Art. 85). Maka, pada tahun 2019, proses persiapan-persiapan untuk pendirian yayasan dimulai di setiap Perwakilan (Jakarta, Makassar dan Manado). Tahun 2020, persiapan-persiapan lebih intensif diprogramkan oleh 3 Dewan Pimpinan Provinsi. Dengan diumumkannya hal tersebut maka pada tanggal 5 Januari 2021 terbentuklah tiga Cabang dari Yayasan Joseph Yeemye yaitu:
- Cabang Jakarta berkedudukan di Jl. Taman Cengkareng Indah No.129, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat
- Cabang Sulselra berkedudukan di Makassar dengan alamat Jl. Lamadukelleng No.7, Kelurahan Losari, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar – Sulawesi Selatan.
- Cabang Sulutteng berkedudukan di Manado dengan alamat Jl. Sam Ratulangi, No.62, Kelurahan Wenang selatan, Kecamatan Wenang, Manado – Sulawesi Utara.
Yayasan Joseph Yeemye Cabang Sulselra meliputi wilayah Sulawesi Selatan, Tenggara dan NTT, yang terdiri dari 13 sekolah. Tiga belas sekolah tersebut adalah:
- SLB Katolik Rajawali Makassar - Sulawesi Selatan
- TK Katolik Rajawali Makassar - Sulawesi Selatan
- SD St. Joseph Rajawali Makassar - Sulawesi Selatan
- SD Hati Kudus Rajawali Makassar - Sulawesi Selatan
- SMP Katolik Rajawali - Sulawesi Selatan
- SMA Katolik Rajawali Makassar - Sulawesi Selatan
- TK Angela Makale – Tanah Toraja
- SD Renye Rosari Makale - Tanah Toraja
- SMP Pelita Bangsa - Tanah Toraja
- SMP Renya Rosari Lilikira – Toraja Utara
- SMP Raha – Sulawesi Tenggara
- SMP Rex Mundi Pomalaa - Sulawesi Tenggara
- TK Infant Jesus Seon